ESTETIKA BUDAYA INDONESIA
Di
ajukanUntukMemenuhiTugas Mata Kuliah
Bahasa
Indonesia
Di
susunoleh:
SitiKhoirotunNisa’
PROGAM
STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM AL-AZHAR
MENGANTI-GRESIK
2016
Alhamdulillah,
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kepada kita hidayah dan
taufiq-Nya, sembari diiringi doa, shalawat dan salam kita haturkan kepada Baginda
Rasulullah Saw. Semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di yaumil akhir
nanti.
Ucapan
terima kasih kami kepada, Bapakdosen dan ibu dosenpembimbing
yang telah memberikan tanggapan positif sehingga saya dapat membuat makalah ini.
Meskipun masih banyak kekurangan, kesalahan, kekhilafan serta
kejanggalan-kejanggalan lainnya, baik dari peletakan huruf maupun susunan kata.
Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman semua
terutama dari Bapakdosendan ibu dosen pembimbing.
Dalam penulisan ini seandainya ada kesalahan, maka semata-mata dari diri kami
sendiri dan jika ada baiknya, maka itu datangnya dari Allah SWT. Mudah-mudahan makalah singkat ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Gresik, 18 Oktober 2016
Penulis
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................................. 1
C.
Tujuan.................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Estetika
Budaya.................................................................................................... 2
B.
Keindahan
dan Budaya......................................................................................... 3
C.
Keindahan
Budaya Masyarakat Jawa................................................................... 4
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dengan kata lain
manusia tidak dapat hidup sendiri dan manusia satu dengan yang lainnya saling
ketergantungan, serta hidup secara berkelompok
membentuk suatu masyarakat yang memiliki cara hidup dan kebiasaannya
sendiri. Cara hidup dan kebiasaan masyarakat tersebut kemudian melahirkan suatu
kebudayaan, maka manusia kemudian memiliki suatu kebudayaan.
Kebudayaan
itu sendiri dapat didefinisikan sebagai hasil cipta dan rasa manusia. Suatu
kebudayaan hanya berlaku pada kelompok masyarakat tertentu yang semua memiliki
nilai estetika tersendiri. Estetika sendiri bersifat subyektif, sehingga tidak
dapat dipaksakan. Tetapi yang penting menghargai keindahan budaya yang
dihasilkan oleh orang lain. Terkadang beberapa orang masih menganggap budaya
Indonesia yang mempunyai nilai tradisional itu kuno. Padahal tradisional itu
bukan berarti kuno.
Setiap
warisan budaya Indonesia mempunyai nilai-nilai yang diturunkan dari zaman
dahulu, akan tetapi budaya bersifat dinamis dimana dapat mengikuti tuntutan
perkembangan zaman. Maksutnya disini bukan berarti nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya tersebut dapat berubah tetapi tampilan dalam menyajikan budaya
yang diubah sesuai dengan tuntutan gaya perkembangan zaman.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah estetika budaya
itu?
2.
Bagaimana hubungan
estetika dan budaya?
3.
Bagaimana keindahan
budaya masyarakat Jawa?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa arti
estetika budaya.
2.
Mengetahui bagaimana
hubunga estetika dan budaya.
3.
Mengetahui keindahan
budaya masyarakat Jawa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Estetika
Budaya
Estetika
adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
1.
Konsep Keindahan
Kata
keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek,
dan sebagainya. Indah merupakan konsep konkret hasil anggapan terhadap
suatu objek. Indah dalam bahasa yunani disebut aesthesis, diserap kedalam
bahasa Indonesia disebut estetis, artinya sifat indah, yaitu nilai kualitas
dari suatu objek. Sedangkan keindahan sendiri akan mempunyai makna yang abstrak
jika tidak dihubungkan dengan suatu objek atau bentuk.Benda yang mempunyai
sifat indah ialah segala hasil seni, pemandangan alam, manusia, rumah, tatanan,
perabot rumah tangga, suara, warna, dan sebaginya. Kawasan keindahan bagi
manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan
perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu keindahan
dapat dikatakan, bahwa keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Dimanapun
kapan pun dan siapa saja dapat menikmati keindahan. Keindahan identik dengan
kebenaran. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya
tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak
indah. Sudah tentu kebenaran disini bukan kebenaran ilmu, melainkan kebenaran
menurut konsep seni. Dalam seni, seni berusaha memberikan makna
sepenuh-penuhnya mengenai obyek yang diungkapkan. Keindahan juga bersifat
universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat,
selera mode, kedaerahan atau lokal.
2.
Sifat
Keindahan
Sifat keindahan bersumber dari unsur
rasa yang ada dalam diri manusia, yang memberi pertimbangan bahwa
keindahan adalah kebaikan dan dibenarkan oleh akal. Sifat-sifat keindahan antara
lain.
a.
Keindahan itu kebenaran (bukan
tiruan)
b.
Keindahan itu abadi (tidak pernah
dilupakan)
c.
Keindahan mempunyai daya tarik
(memikat perhatian orang,
menyenangkan, tidak membosankan)
d.
Keindahan itu universal (tidak terikat
dengan selera perseorangan,
waktu dan
tempat)
e.
Keindahan itu wajar (tidak
berlebihan dan tidak pula kurang atau
menurut apa
adanya)
f.
Keindahan itu kenikmatan (kesenangan
yang memberikan
kepuasan)
g.
Keindahan itu kebiasaan (dilakukan
berulang-ulang. Yang tidak bisa
dan tidak
indah namun karena dilakukan berulang-ulang sehingga
menjadi biasa
dan indah)
B. Keindahan dan Budaya
Hubungan dengan Kebudayaan Dalam hal
keindahan, terdapat hubungan antara estetis dan kebudayaan.Estetis adalah rasa
yang terdapat dalam diri manusia sebagai unsur budaya, sedangkan kebudayaan
adalah pantulan dari estetis dalam diri manusia, baik yang berupa sikap dan
perilaku maupun yang berupa karya cipta.
Apabila dalam diri manusia sudah terbiasa
berkembang rasa keindahan, setiap wujud penampilannya selalu menyenangkan,
menggembirakan, menarik perhatian, dan tidak membosankan orang lain.
Dalam kebudayaan terdapat keindahan
yang senantiasa dipelihara kelestarian dan kelangsungannya, misalnya kehalusan
tutur bahasa kerapian cara berpakaian, dan kemegahan prasasti-prasasti
peninggalan nenek moyang dan lain sebagainya. Maka manusia harus benar- benar
menjaga kelestarian keindahan, karena keindahan menentukan kelestarian dan
kelangsungan suatu kebudayaan.
Secara hubungan jelas keindahan selalu
hadir di setiap kebudayaan, begitu pula di dalam kebudayaan pasti mempunyai nilai-nilai
keindahan, sehingga keindahan dalam kebudayaan selalu terikat dan menyatu padu
secara erat sehingga lahirlah kebudayaan yang terlihat indah. Keindahan dalam
kebudayaan merupakan keindahan sebagai salah satu sifat manusia dalam karya
cipta manusia.
Didalam kebudayaan apapun pasti
memiliki nilai keindahan, karena di dalamnya memiliki nilai estetika enak di
pandang, dan didalamnya kebudayaan memiliki keindahan yang mewakili sifat-
sifat dari keindahan tersebut.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan
yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga
mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Serta kebudayaan
merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil
rasa, karya, karsa, dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang
hanya ada pada manusia.
C.
Keindahan Budaya Masyarakat Jawa
Indonesia sebagai Negara yang
memliki masyarakat majemuk dengan berbagai suku bangsa telah melahirkan banyak
kebudayaan yang sangat digemari di dalam maupun luar negeri. Keseniantradisionalbegitumelekatpadasetiapdaerah yang
menonjolkankeasliandaerahmasing-masing. Aceh terkenaldengantariSaman yang
menggambarkankekompakkandanketeraturanpuji-pujiankepada Sang Khalik.
BetawisemakinsemarakdengankemeriahanOndel-ondelnya. Tarikecak Bali
memberidayatarikwisatawanbaik local maupunasingsedangkan Gamelan
Jawaturutmemperkayakhasanahmusik Nusantara yang
tidaktanggung-tanggungternyatasangat popular sampaikeluarnegri. Semuakesenian
yang bernilaiestetiktinggitersebutmerupakankekayaansenibudaya Indonesia yang
perludilestarikandandipertahankan demi menjagaidentitas Negara kita.
Terlepasdaribegitubanyaknyakekayaansenibudaya
Indonesia, keseniandankebudayaanJawa munculsebagaisalahsatukebudayaan
Indonesia yang paling menonjol. Sebagaimana yang
telahdisebutkanpadababsebelumnya,
MasyarakatJawasangatmenjunjungtingginilaitradisiKejawennya.Padawaktuitudanmungkinsampaisekarang,
masyarakatJawamasihmempertahankantindaklaku yang
alustetapimasihmempunyainilaiseni.
Segalabentukupacaraadatnyasaratakannilaietikasebagaituntunandanestetikasebagaitontonan.
JawaadalahmilikMasyarakatJawadanmilikbangsa.
BagaimanapunJawamerupakankampunghalaman orang Indonesia danEstetika
Jawamerupakanbagiandarikekayaansenibudaya Indonesia.
Kebudayaan Jawa sebagai bagian kebudayaan Nusantara memiliki
sistem pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang khas untuk pedoman warga
masyarakat pendukungnya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Termasuk di
dalamya adalah kebutuhan kesenian atau pengungkapan rasa keindahan.
Sistem-sistem itu, langsung atau tidak, disadari atau tidak, menjadi sumber
dasar yang melandasi, menjiwai, memotivasi, mengilhami, mempengaruhi, atau
menjadi standardisasi, dalam memenuhi kebutuhan ekspresi seni warga
masyarakatnya. Dalam kekhasan budayanya itu, sebagai bagian kebudayaan Nusantara
secara tradisional , masih tetap bersifat mistis-religius. Apalagi jika
dikaitkan dengan corak kehidupan masyarakatnya yang agraris, orientasi budaya
yang bersifat mistis-religius, sampai sekarang masih dapat dirasakan,
ditelusuri, atau dilihat dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat Jawa.
Pertama, sesuatu yang indah itu, dalam pandangan budaya Jawa, jika
memperlihatkan adanya nilai keteraturan. Keteraturan itu, bukan hanya dalam
kaitan dengan masalah keindahan atau kesenian saja, namun dalam segala hal
orang Jawa harus bisa hidup teratur. Dengan kata lain seseorang belum dapat
disebut njawani atau durung Jawa jika tidak teratur, semrawut,
atau acak-acakan. Untuk dapat memperoleh kesejahteraan atau keselamatan, maka
segala sesuatunya harus dilakukan atau dibuat secara teratur. Pandangan ini sesungguhnya
bersumber dari nilai budaya kosmologis, yakni pengetahuan atau pandangan orang
Jawa tentang jagat raya atau alam semesta.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan istilah kosmos atau jagat
adalah alam semesta yang teratur. Kosmologi adalah kajian tentang kosmos yang
berkaitan dengan kosmogoni atau mite mengenai penciptaan dunia atau alam
semesta dan manusia. Dalam pengertian ini
tercakupi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan asal mula atau alam semesta,
yaitu siapa penciptanya dan bagaimana alam semesta itu diciptakan.Gambaran
vertikal mengenai pembagian alam semesta ini, dalam bangunan rumah joglo, dapat
dilihat pada atapnya yang memiliki tiga susunan kemiringan yang dapat
diinterpretasikan sebagai tiga susunan dunia atas. Sedangkan tujuh susunan
langit diungkapkan dalam tujuh tingkat tumpangsari. Bagian pendopo,
menghadirkan dunia tengah, untuk kawasan kegiatan manusia, dan pondasi batu
umpak adalah sebagai ungkapan dunia bawah. Dunia atas untuk para dewa, dunia
bawah untuk para setan, dan dunia tengah untuk manusia.
Menurut pandangan orang Jawa, dunia gaib merupakan misteri
kekuasaan yang mengelilingi kehidupan mereka sehingga mereka sangat tergantung
dari kekuasaan alam gaib tersebut. Pandangan ini memperlihatkan bahwa secara
umum, orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini hakikatnya merupakan
kesatuan hidup. Kehidupannya senantiasa terkait erat dengan alam raya. Manusia
memiliki kewajiban moral menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup dengan
segala tatanan yang dilambangkan dalam susunan alam semesta. Melawan tatanan
merupakan suatu dosa dan sekaligus mengacaukan keselarasan dan keseimbangan
yang akan membawa suatu penderitaan
Nilai keteraturan, yang bersumber dari pandangan kosmologis
tersebut, dalam kesenian tradisional Jawa sangatlah diperlukan, baik dalam tata
rupa, tata gerak, dan tata bunyi atau tata sastra lainnya. Orang Jawa sulit
memahami, merasakan, atau menerima suatu sajian tata rupa, tata gerak, tata
bunyi, atau tata sastra yang ruwet, acak-acakan, dan semaunya sendiri. Semakin
runtut dan teratur suatu sajian seni apa pun, semakin enak dinikmati atau
dirasakan nilai keindahannya. Seperti kesenian berikut ini:
1.
Wayang Kulit
Pementasan
wayang kulit ini, dalam semua aspek yang terkait di dalamnya, semuanya diproses
atau dipentaskan secara teratur mulai aspek tata rupanya, tata waktunya, tata
suara, tata musiknya, tata sinarnya, dan tata ceritanya. Cerita wayang kulit
diambil dari cerita mahabarata dan ramayana. Para pemainnya adalah boneka yang
berwujud kulit yang dipahat secara halusdan diberi cat dengan warna indah
sesuai karakter masing-masing. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang.
Dalang memainkan wayang tersebut didepan layar atau kain putih yang
dibentangkan yang disebut kelir. Penerangannya menggunakan lampu. Ketika
dimainkan didepan layar, penonton hanya melihat bayangannya saja kerena
penonton melihat dari balik kain. Dibelakang dalang ada para penabuh dan juga
para penyanyi.Dari keteraturan itulah pementasan wayang kulit dapat dinikmati
dan dirasakan keindahannya.
2.
Reog
Reog adalah
sandiwara lawak dari Jawa Timur yang dimainkan oleh beberapa orang, yang keluar
secara bersamaan sambil memainkan kendang dog-dog yang diikatkan di pinggang
mereka. Kemudian mereka membuat lawakan sindiran bagi kehidupan masyarakat
sekarang yang buruk. Improvisasi lawakan tersebut diselingi dengan nyanyian dan
permainan gendang yang memberi nilai keindahan tersendiri bagi yang melihat.
Pertunjukan ini tidak menggunakan panggung atau stage.
3.
Calung
Calung
adalah sandiwara lawak yang berasal dari Jawa Barat yang dalam pemainannya para pemainnya
berperan sebagai orang kampung yang melakukan ronda malam. Tata busana mereka
seperti orang-orang yang sedang ronda, yaitu dengan membawa tong-tong. Seorang
pemuda muncul dengan memanggil teman-temannya, lalu satu persatu temannya
muncul dan akhirnya mereka menyanyi dengan diiringi orkes tong-tong kemudian
lagu tau nyanyian mereka diselingi improvisasi lawakan atau humor. Penampilan
mereka sangat sederhana dan mencermikan pikiran dan kebiasaan orang kampung
Hal serupa juga terjadi dalam pementasan tari klasik tradisional
Jawa, musik karawitan Jawa, bangunan rumah tradisional Jawa (Joglo), atau dalam
peristiwa-peristiwa budaya seperti upacara adat dan keagamaan yang di dalamnya
tersajikan aktivitas berkesenian.
Kedua, nilai keindahan itu terdapat atau terletak pada sesuatu
yang diposisikan, diletakkan, ditempatkan sesuai dengan peran, fungsi, atau
kategorinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan tradisional Jawa yang berbunyi empan
papan . Artinya segala sesuatu yang dilakukan, ditempatkan, diposisikan,
tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan peran, fungsi, atau kategorinya,
maka sebaik apa pun hal itu, ia menjadi jelek, tidak layak, atau ora pantes.
Oleh sebab itu, aspek penataan, penempatan, atau pemanfaatan suatu benda atau
hal, termasuk karya seni menjadi penentu nilai keindahannya. Hal ini jika
ditelusuri, sesungguhnya bersumber dari nilai budaya sistem kategori. Sistem
kategori dalam budaya Jawa ini dapat dilihat dalam sistem klasifikasi simbolik.
Sistem ini mengatur posisi, peran, atau pembagian sesuai dengan apa yang secara
tradisional terjadi dalam kehidupan masayarakat Jawa.
Disadari atau tidak, dalam kehidupannya, orang seringkali
melakukan penggolongan atau mengklasifikasikan sikap dan tindakan-tindakan
tertentu yang dianggap bermakna dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup menurut
kebudayaannya. Orang Jawa, misalnya, tidak akan bertindak gegabah seakan-akan
masalahnya terbatas pada dimensi sosial alamiah saja. Bahkan dalam beberapa
unsur kebudayaan, seperti bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan,
keyakinan keagamaan, dan ilmu gaib penggunaan sistem klasifikasi simboliknya
tampak begitu menonjol.
sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan pada dua, tiga,
lima, dan sembilan kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan
dengan hal-hal yang berlawanan, bermusuhan, atau saling membutuhkan. Lebih
lanjut sistem kategori yang dualistik (oposisi binari) ini berkembang menjadi
sistem ganda-tiga dengan kategori ketiga sebagai pusat yang menetralkan kedua
pihak agar seimbang, misalnya dunia atas, bumi, dan dunia bawah.
Selain sistem klasifikasi dualistik dan ganda-tiga ini, orang Jawa
juga mengenal sistem-sistem yang berdasarkan lima kategori, misalnya sistem
pembagian keempat kategori keempat arah mata angin dan yang kelima di
tengah-tengahnya, sistem mancapat , hari pasaran Jawa (legi, pahing,
pon, wage, dan kliwon) yang dihubungkan dengan timur, selatan, utara, dan
tengah atau dihubungkan dengan warna putih, merah, kuning, hitam, dan campuran
di tengahnya. Sistem klasifikasi simbolik yang terakhir adalah pembagian
kategori dalam sembilan kategori, yang mengkonsepsikan keempat arah mata angin
menjadi delapan bagian dengan pusatnya sebagai kategori sembilan. Di daerah
Pesisir, makna angka sembilan seringkali dinyatakan dalam konsep Walisanga.
Dalam kaitan dengan kesenian, sistem kategori tersebut menjadi
penting, terutama untuk menentukan, misalnya, dalam tata penempatan, tata
ruang, tata waktu, tata rupa dan warna, dan tata bertutur kata (unggah-ungguh
basa). Orang Jawa tahu menempatkan hal-hal atau barang-barang apa saja yang
seharusnya diletakkan di dalam dan di luar, di kanan dan di kiri, di atas dan
di bawah. Anggapan semacam tabu (ora ilok), jelek, atau ora pantes
jika sesuatu yang semestinya berada di dalam ditempatkan di luar atau
sebaliknya dan demikian seterusnya. Misalnya, sebagus apa pun suatu tarian
rakyat, tidaklah patut jika dipentaskan di dalam kraton atau sebaliknya seelok
apa pun tarian klasik kraton akan menjadi tidak pantas jika dipentaskan di luar
kraton. Hal ini karena masing-masing memiliki tempat, posisi, peran, atau
fungsinya sendiri-sendiri.
Dalam hal tata ruang, sistem kategori tersebut penting
diperhatikan pada seni arsitektur tradisional, misalnya dalam penempatan ruang
tamu, keluarga, kamar, dapur, WC dan kamar mandi. Misalnya sebagus apa pun
perwujudan suatu WC, kamar mandi, atau dapur jika diletakkan di bagian depan,
maka bagi orang Jawa hal ini merupakan sesuatu yangora elok, ora pantes,
atau saru. Ini karena hal tersebut dalam sistem klasifikasi simbolik
termasuk dalam kategori bagian belakang, kiri atau kotor.
Dalam hal tata waktu, penempatan atau penyajian suatu karya seni,
juga harus diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap pantas atau tidaknya
penempatan atau penyajiannya. Misalnya seindah apa pun suatu busana ritual satu
tradisi tertentu akan menjadi tidak indah jika dipakai atau disajikan bukan
pada waktunya karena waktu menjadi penentu profan atau sucinya sesuatu. Ambil
contoh busana batik motif sido mukti atau sido luhur hanya cocok
dan patut dipakai oleh sepasang pengantin pada waktu ritual perkawinan, di luar
itu menjadi tidak pas bila dikenakan. Dalam pertunjukan wayang kulit semalam
suntuk ada tata waktu kapan suatu lakon atau pola iringan/irama musik (pathet
gamelan) disajikan. Merupakan suatu hal yang janggal, aneh, tidak pantas
jika hal itu tidak ditaati.
Dalam hal tata rupa dan warna, sistem kategori ini sangatlah perlu
diperhatikan, terutama pada wayang kulit. Masing-masing tokoh wayang menempati
wilayah simbolik tertentu dalam sistem klasifikasi simbolik Jawa, sehingga
perbentukan dan pewarnaannya pun harus menyesuaikan dengan tatanan yang sesuai
dengan wilayah simbolik tersebut. Sebagai contoh tidaklah mungkin bentuk tokoh
satria digambarkan dalam bentuk raksasa dan begitu sebaliknya. Dalam hal
pewarnaan, masing-masing warna menempati wilayah simbolik dalam penggambaran
suatu tokoh tertentu.
Dari pemberian contoh singkat tersebut terlihat betapa nilai suatu
keindahan (kepantasan, kepatutan, atau keelokan) dalam perspektif budaya Jawa,
tidak hanya berhenti pada aspek intrinsik dari suatu gejala kesenian tertentu,
tetapi juga ditentukan oleh bagaimana gejala itu dimanfaatkan, diperankan,
diposisikan , atau ditempatkan. Artinya belumlah lengkap nilai keindahan dari
suatu gejala kesenian jika hanya dilihat pada aspek intrinsiknya saja.
Ketiga, dalam perspektif budaya Jawa, keindahan suatu hal atau
karya seni, haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan
memberikan kesan tenang, tenteram, damai, cocok, selaras, serasi, dan seimbang
dalam persepsi estetis seseorang yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah
satu orientasi penting kehidupan orang Jawa yang harus dapat diimplementasikan
dalam seluruh aspek kehidupannya. Agar hidup memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan lahir batin, orang harus dapat menjalin hubungan yang selaras,
serasi, dan seimbang dengan sesama, dengan lingkungan alam, dan dengan
kekuatan-kekuatan gaib lainnya penguasa atau pencipta alam semesta.
Prinsip gotong royong, saling membantu, “mengalah” (dalam ungkapan
tradisonal Jawa disebut dengan istilah wani ngalah luhur wekasane), menghormati
dan menjaga perasaan orang lain, merupakan contoh pedoman untuk menjaga dan
menjalin hubungan dengan sesama agar mendapatkan keselamatan, kesejahteran,
ketenangan, ketenteraman kedamaian, keselarasan, keserasian hidup. Segala hal
yang menimbulkan konflik atau pertentangan diupayakan untuk dihindari dalam
kehidupan sosial orang Jawa. Konflik atau pertentangan dirasakan dan dipercaya
akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Lebih
parah lagi dapat menimbulkan kesengsaraan dan membawa petaka. Ungkapan-ungkapan
tradisional Jawa yang lain seperti mikul duwur mendem jero, ngono yo ngono
neng ojo ngono, sakmadya, sakcukupe, atau aja ngaya, memiliki makna
sebagai strategi untuk menjaga hubungan agar tetap dan memperoleh harmoni.
Pendek kata nilai harmoni menjadi penting dalam sistem kehidupan orang Jawa
untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Pandangan hidup yang berorientasi menuju harmoni tersebut, secara
simbolik terekspresikan dalam kesenian tradisional Jawa. Keharmonian suatu
karya seni amat menentukan nilai keindahannya. Tata rupa-warna, tata bunyi,
tata suara, tata gerak, tata sastra dalam kesenian Jawa amat memperhatikan
nilai harmoni ini. Harmoni menjadi penting dalam upaya mendapatkan kesan
kesatuan antaraspek atau unsur yang ada dalam suatu gejala kesenian. Karena
tanpa nilai ini, kesatuan sebagai sebuah karya yang utuh akan sulit dicapai
yang pada gilirannya akan menimbulkan kesan tidak nyaman, tidak enak, atau
tidak indah dalam persepsi estetis penikmatnya. Itulah sebabnya, jika
diperhatikan, karya-karya seni tradisional Jawa berusaha mewujudkan nilai ini
melalui pengungkapan bentuk, warna, gerakan, irama, sastra, atau suara yang soft,
halus, lembut, lentur, runtut, rancak, dan sejenisnya. Hal-hal yang bersifat
keras, kasar, kaku, mencolok, atau yang sejenisnya senantiasa dihindari atau
dimanipulasi sedemikian rupa dengan berbagai cara untuk memperoleh kesan
selaras atau harmoni ini.
Berdasarkan ketiga bahasan tersebut, setidaknya dapat dikemukakan
bahwa karakteristik atau ciri estetika Jawa mencakupi tiga aspek penting, yaitu
adanya aspek keteraturan, pemanfaatan atau penempatan, dan harmoni. Suatu hal
atau gejala kesenian akan memperlihatkan keindahannya jika memperlihatkan
ketiga aspek ini. Konsep ini, sudah tentu, dalam konteks ideal yang bersumber
dari pandangan tradisional nilai budaya kosmologis, klasifikasi simbolik, dan
orientasi nilai kehidupan budaya Jawa.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Estetika adalah salah satu cabang filsafat.
Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia
bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Dalam kebudayaan terdapat keindahan yang
senantiasa dipelihara kelestarian dan kelangsungannya, misalnya kehalusan tutur
bahasa kerapian cara berpakaian, dan kemegahan prasasti-prasasti peninggalan
nenek moyang dan lain sebagainya. Maka manusia harus benar- benar menjaga
kelestarian keindahan, karena keindahan menentukan kelestarian dan kelangsungan
suatu kebudayaan.
Karakteristik
atau ciri estetika Jawa mencakupi tiga aspek penting, yaitu adanya aspek
keteraturan, pemanfaatan atau penempatan, dan harmoni. Suatu hal atau gejala
kesenian akan memperlihatkan keindahannya jika memperlihatkan ketiga aspek ini.
Konsep ini, sudah tentu, dalam konteks ideal yang bersumber dari pandangan
tradisional nilai budaya kosmologis, klasifikasi simbolik, dan orientasi nilai
kehidupan budaya Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi.
2003.Falsafah HidupJawa.
Tangerang: Cakrawala.
Koentjarangrat.
1984.Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka
Koentjaraningrat.
1986.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Sumardjo,
Jakob. 2000.Filsafat Seni. Bandung : ITB.
Sunaryo, Aryo.
1994. “ Warna Wayang : Dari Aspek Mistik, Simbolik, hingga Estetik” dalam :MEDIAFPBS
IKIP Semarang. No 1. Th.XVIII.1994.
Suparlan,
Parsudi. 1976. “The Javanes Dukun” dalam :Masyarakat Indonesia. Th. Ke-5
No.2.
Tim kesowo.
2006. Seni Budaya SMP/MTs. Sukoharjo: CV kesowo.
Tjahyono,
Gunawan. 1989. “ Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architecture : The
Symbolic Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings:Dissertation
Ph.D., University of California at Berkeley.
Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu
Antropologi(Jakarta:Aksara Baru,1984),329.